Fenomena kekerasan
Berbicara mengenai kekerasan berarti juga berbicara mengenai salah satu tingkah laku primitif manusia yang masih langgeng sampai sekarang. Perilaku kekerasan sudah setua usia peradaban manusia. Kitab suci jelas menunjukkan kekerasan yang dilakukan oleh Kain terhadap Habil[1]. Hanya karena iri, sang kakak rela melakukan tindakan pembunuhan terhadap adiknya.
Berbicara mengenai kekerasan berarti juga berbicara mengenai salah satu tingkah laku primitif manusia yang masih langgeng sampai sekarang. Perilaku kekerasan sudah setua usia peradaban manusia. Kitab suci jelas menunjukkan kekerasan yang dilakukan oleh Kain terhadap Habil[1]. Hanya karena iri, sang kakak rela melakukan tindakan pembunuhan terhadap adiknya.
Kekerasan juga terjadi di mana-mana. Selain melintasi dimensi waktu seperti tersebut di atas, kekerasan juga melintasi batas-batas wilayah, bahkan suku dan agama sekalipun. Kekerasan terjadi pada lingkup yang paling kecil sampai dengan wilayah yang sangat luas. Kekerasan dalam keluarga merupakan contoh lingkup kekerasan yang paling kecil. Suami melakukan kekerasan terhadap istri dan atau anak-anaknya. Istri melakukan kekerasan terhadap anak-anak dan seterusnya. Pada kontinum yang paling luas tindak kekerasan berujud peperangan antar negara bahkan antar beberapa negara (perang dunia) sampai pada genocide, pembantaian suatu suku/ras oleh suku/ras lainnya seperti yang dilakukan oleh Nazi Jerman terhadap Yahudi atau pada penduduk Bosnia oleh tentara Serbia.
Sejarah mencatat, kekerasan yang paling kejam dan brutal serta tidak berperikemanusiaan sering kali dilakukan atas nama agama. Sejarah gereja membuktikan hal tersebut. Bagaimana gereja (Roma Katolik) waktu itu mengejar-kejar pengikut Martin Luther untuk disiksa dan dibunuh (lidah dipotong, menggunakan alat-alat penyiksaan yang sangat kejam seperti alat untuk menarik tulang, dibakar, diterjunkan ke sungai dengan diberi pemberat dan lain sebagainya). Namun nampaknya kekerasan yang dilakukan oleh gereja Roma Katolik tidak memberikan pelajaran bagi pengikut Protestan kemudian. Mereka pun melakukan hal yang sama terhadap kelompok yang kemudian dinamai dengan gerakan anabaptis (pembaptisan ulang) yang sekarang dikenal sebagai kelompok Mennonite. Kita masih bisa menyaksikan kekerasan yang dilakukan gereja di saat ini di negeri ini pada kelompok yang dikenal sebagai sekte hari kiamat.
Terakhir, kekerasan juga bisa dilihat dalam bentuk aksi-aksi teror yang sekarang ini menghantui seluruh dunia. Terorisme yang paling jahat dan brutal justru bila dilakukan atas nama agama/keyakinan tertentu. Kalau kita menyaksikan di media, pelakunya sama sekali tidak menunjukkan penyesalan terhadap aksi yang telah dilakukannya. Bahkan mereka nampak puas dan bahagia. Bagi mereka, itu adalah cara mereka untuk berbakti kepada Tuhan, yaitu menumpas kebatilan dan penyesatan yang terjadi. Ini mirip bukan dengan slogan-slogan yang dilakukan oleh setiap kelompok agama untuk memusuhi kelompok lain? (Ingat apa yang dilakukan oleh kaum Farisi dan Ahli Taurat terhadap Yesus dan ajarannya yang dianggap “menyimpang”).
Fenomena kekerasan seperti yang diuraikan di atas, kiranya menjadi contoh yang jelas mengenai kekerasan yang mewarnai kehidupan manusia. Pertanyaannya adalah mengapa kekerasan begitu lekat dalam kehidupan manusia?
Akar Kekerasan
Kalau kita menganalogkan penyebab kekerasan dengan istilah “akar”, itu berarti merujuk pada sesuatu yang ada di bawah permukaan, dengan tingkah laku kekerasan sebagai sesuatu yang dimunculkan/dinampakkan. Akar berarti bahwa penyebab kekerasan itu sebenarnya tidak nampak, sedangkan kekerasan itu merupakan pohon atau bahkan buah dari yang tidak nampak tersebut.
Dulu banyak yang mengira bahwa kekerasan terjadi disebabkan oleh masalah tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi seseorang yang rendah. Namun sekarang ini semakin disadari bahwa tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi seringkali hanyalah sebagai faktor pencetus/pemicu saja. Ini terbukti dengan semakin ditemukannya kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi serta status sosial ekonomi yang mapan.
Ada beberapa akar penyebab terjadinya perilaku kekerasan. Pertama adalah adanya frustrasi yang dialami oleh pelaku tindak kekerasan[2]. Frustrasi dialami bila tujuan yang ingin dicapai dihalang-halangi sehingga yang bersangkutan gagal mencapai tujuannya. Faktor frustrasilah yang menjadi salah satu sumber mengapa mereka yang berpendidikan dan status sosial ekonomi rendah lebih rentan melakukan tindak kekerasan. Gaya hidup modern yang mengagungkan hedonisme[3] di satu sisi sedangkan mereka hanya memiliki sumber daya yang sangat terbatas pada sisi yang lain akan mudah sekali menimbulkan frustrasi.
Reaksi terhadap frustrasi umumnya ada tiga macam. Pertama adalah menghindari situasi yang menyebabkan frustrasi tersebut. Kedua dengan tingkah laku apati dan ketiga adalah dengan melakukan tingkah laku agresi. Biasanya keputusan untuk menggunakan salah satu dari ketiga reaksi tersebut didasarkan pada pertimbangan apakah pelaku merasa dirinya lemah/minoritas ataukah kuat/berkuasa/mayoritas. Bila dia merasa lemah, dia akan mengambil keputusan untuk melakukan tingkah laku menghindar terhadap situasi yang menyebabkan frustrasi. Bila situasi tersebut ternyata tidak bisa lagi dihindari, maka reaksi apati menjadi pilihan yang terakhir. Sebaliknya bila pelaku merasa dirinya lebih kuat, dia akan melakukan tindakan agresi terhadap situasi yang menyebabkan frustrasi.
Akar kekerasan kedua adalah adanya pengalaman abuse yang dialami pada masa kecil[4]. Ini terutama karena budaya pengasuhan kita umumnya mengijinkan tindakan kekerasan dilakukan terhadap anak. Anak yang mengalami pengasuhan dengan pola kekerasan, pada saat besar nanti juga akan mudah sekali melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain, meskipun sebenarnya dia tidak menyukainya. Ini terjadi begitu saja, baik pelakunya suka ataupun tidak suka. Dengan kata lain, korban abuse pada waktu kecil sangat berpotensi untuk menjadi abuser juga ketika dia dewasa.
Akar kekerasan ketiga adalah karena faktor kepribadian. Pada gangguan jiwa ada yang diistilahkan dengan gangguan kepribadian[5]. Salah satunya adalah gangguan kepribadian dengan pola agresif. Orang yang mengalami gangguan kepribadian pola agresif ini dicirikan dengan tingkah laku yang mudah tersinggung dan destruktif bila keinginannya tidak tercapai atau bila menghadapi situasi yang menyebabkannya menjadi frustrasi. Selain gangguan kepribadian, tingkah laku kekerasan juga terjadi karena adanya kepribadian status. Kepribadian status adalah kepribadian yang dimiliki oleh seseorang berkaitan dengan statusnya. Kepribadian status ini seringkali berbeda bahkan sangat berbeda dengan kepribadian asli dari orang yang bersangkutan. Peristiwa kekerasan yang menimpa para mahasiswa STPDN oleh seniornya adalah contoh dari kepribadian status tersebut. Pada kehidupan sehari-hari mungkin para mahasiswa yang melakukan tindak kekerasan tidak pernah ditemui melakukan hal yang sama kepada orang lain. Status sebagai senior menyebabkannya berperilaku keras terhadap yuniornya.
Pandangan Psikoanalisa terhadap kekerasan[6]
Bicara mengenai kekerasan dari sudut pandang psikologi, rasanya tak lengkap bila tidak meninjaunya dari teori psikoanalisa yang dikemukakan oleh Freud. Freud merupakan salah satu bapak psikologi yang sumbangan pemikirannya pada bidang psikologi (dan bahkan pada bidang lain) sangatlah besar, terlepas dari segala kontroversi yang dinyatakannya dalam bidang agama[7].
Menurut teori psikoanalisa, struktur jiwa manusia dibagi menjadi tiga, yaitu superego, ego dan id. Superego bekerja berdasarkan prinsip ideal (yang seharusnya). Isi superego adalah segala perintah dan larangan yang dibatinkan (internalisasi) dari orang tua dan tokoh-tokoh yang berkuasa (juga ajaran agama) bagi si anak. Ego bekerja berdasarkan prinsip realita. Egolah yang terutama menggerakkan perilaku sadar individu. Sedangkan id bekerja berdasarkan prinsip kenikmatan/kesenangan. Pribadi yang sehat adalah pribadi yang memiliki ego yang kuat sehingga mampu mengontrol dorongan yang berasal dari id maupun superegonya.
Pada dasarnya perilaku manusia digerakkan oleh dua dorongan dasar, yaitu dorongan untuk hidup (eros) dan dorongan untuk mati (thanatos). Dorongan untuk hidup kemudian oleh Freud dispesifikkan pada dorongan seks (libido) sebagai intinya. Ini disebabkan karena Freud melihat berdasarkan pengalaman prakteknya, banyak pasien yang mengalami gangguan mental disebabkan mereka tidak mampu mengekspresikan dorongan seks mereka secara wajar. Libido ini yang mengisi energi pada id.
Pada bagian lain, energi superego berasal dari thanatos. Itulah sebabnya mengapa orang yang superegonya kuat dan mendominasi kepribadiannya, mudah diliputi kecemasan dan rasa bersalah yang pada akhirnya membuat individu diliputi perasaan putus asa dan depresi (bahkan keinginan untuk bunuh diri). Ini terjadi karena energi thanatos diarahkan kepada diri sendiri. Sedangkan bila energi thanatos diarahkan ke luar, ini akan muncul dalam bentuk perilaku agresi yang bersifat destruktif termasuk di dalamnya rupa-rupa tindak kekerasan.
Berdasarkan pandangan psikoanalisa tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya dorongan untuk melakukan tindak kekerasan memang sudah menjadi sifat dasar manusia (bawaan). Semua manusia berpotensi (tanpa kecuali) untuk melakukan tindak kekerasan (entah terhadap diri sendiri maupun kepada orang lain).
Pandangan behaviorisme terhadap kekerasan[8]
Berbeda dengan psikoanalisa, behaviorisme berpendapat bahwa kekerasan disebabkan dari hasil belajar. Manusia akan cenderung mengulangi tingkah laku yang menguntungkan dirinya sehingga tingkah laku tersebut akhirnya menjadi sifat dirinya. Orang yang berbadan kekar cenderung akan melakukan tindakan agresif karena tindakan tersebut lebih banyak menguntungkan dirinya (orang lain yang badannya kecil akan kalah dengannya). Di sini berlaku prinsip penguatan (reinforcement).
Tingkah laku juga terjadi karena adanya modelling (belajar meniru). Bila lingkungan sekitar (orang tua, saudara, tetangga, media) menyajikan adegan-adegan kekerasan, maka sangatlah mungkin individu akan meniru tindakan kekerasan tersebut.Jadi, behaviorisme melihat bahwa perilaku kekerasan terjadi karena memang perlilaku tersebut membawa konsekuensi yang positif (menyenangkan) bagi individu pelakunya serta karena memang lingkungan menyediakan model-model untuk melakukannya.
Catatan kaki
[1] Kejadian 4:1 - 16
[2] Warga, R.G., 1983. Personal Awareness: A Psychology of Adjustment. Third edition. Houghton Mifflin Company.
[3] Hedonisme adalah pandangan/gaya hidup yang mengutamakan kenikmatan/kesenangan di atas segalanya. Pandangan ini masuk dalam gereja berupa teologia berkat untuk menarik jemaat sehingga sekarang ini banyak gereja yang lebih mengutamakan ajaran tentang berkat daripada salib dan penyangkalan diri (asketisme).
[4] Siswanto. 2003. Keluarga Disfungsi dalam materi kuliah Child Abuse yang disampaikan di STT Pesat Salatiga.
[5] Lazarus, R.S., 1976. Patterns of Adjusment. 3th edition. Tokyo: McGraw-Hill Kogaskusha, LTD
[6] Freud, S., 1983. Sekelumit Sejarah Psikoanalisa. Terjemahan oleh Karl Berten. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
[7] Bertens, K., 1987. Panorama Filsafat Modern. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
[8] Corey, G., 1988. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Penerjemah: E. Koeswara. Bandung: PT Eresco.
[1] Kejadian 4:1 - 16
[2] Warga, R.G., 1983. Personal Awareness: A Psychology of Adjustment. Third edition. Houghton Mifflin Company.
[3] Hedonisme adalah pandangan/gaya hidup yang mengutamakan kenikmatan/kesenangan di atas segalanya. Pandangan ini masuk dalam gereja berupa teologia berkat untuk menarik jemaat sehingga sekarang ini banyak gereja yang lebih mengutamakan ajaran tentang berkat daripada salib dan penyangkalan diri (asketisme).
[4] Siswanto. 2003. Keluarga Disfungsi dalam materi kuliah Child Abuse yang disampaikan di STT Pesat Salatiga.
[5] Lazarus, R.S., 1976. Patterns of Adjusment. 3th edition. Tokyo: McGraw-Hill Kogaskusha, LTD
[6] Freud, S., 1983. Sekelumit Sejarah Psikoanalisa. Terjemahan oleh Karl Berten. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
[7] Bertens, K., 1987. Panorama Filsafat Modern. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
[8] Corey, G., 1988. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Penerjemah: E. Koeswara. Bandung: PT Eresco.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar