Selasa, 19 Mei 2009

Kompleks Robinhood: Impian Menjadi Pahlawan

Pembaca tentunya sedikit banyak mengenal tokoh Robinhood, yang dalam cerita digambarkan sebagai orang yang pandai memanah dan berkelahi. Dia memiliki kelompok yang mendukungnya dalam berbagai aksinya, yaitu mencuri dan merampok harta para bangsawan, kemudian membagi-bagikannya kepada kaum miskin. Musuh utamanya adalah penguasa yang dianggap lalim, karena memungut pajak yang tinggi sehingga rakyat menderita. Tokoh ini muncul sebagai pembela kaum tertindas. Dia dielu-elukan oleh rakyat, dan bagi para pembacanya, hampir tidak ada yang menolak kalau dia dianggap sebagai pahlawan. Itulah menariknya tokoh ini, meskipun dia mencuri/merampok (melakukan kejahatan), namun hampir tidak ada orang yang menyalahkannya karena dia melakukannya untuk orang lain. Bahkan tokoh ini, dalam cerita, juga mengidentifikasikan diri sebagai seorang pemimpin dan pahlawan serta sama sekali tidak merasa bersalah dengan apa yang dilakukannya.


Nampaknya tokoh Robinhood merupakan tokoh yang pas untuk menggambarkan gejala-gejala/simtom-simtom yang dialami oleh para pelaku tindakan teror/teroris. Mereka melakukan tindakan-tindakan kejahatan, namun di balik tindakan tersebut terkandung motivasi untuk melakukan pembelaan terhadap sesuatu, entah ideologi (termasuk di dalamnya agama), kebangsaan, atau lainnya. Gejala utamanya adalah walaupun mereka melakukan tindakan kejahatan, yang sering kali dianggap biadab oleh orang lain, namun pelakunya sama sekali tidak merasa bersalah dan bahkan gembira melihat hasil perbuatannya. Baru setelah dilakukan pemeriksaan, terungkap bahwa mereka melakukan tindakan-tindakan teror tersebut karena dimotivasi oleh suatu tujuan “mulia”, entah demi ideologi/keyakinan yang mereka pegang, atau oleh suatu cita-cita lainnya.


Orang seringkali salah paham dan menganggap mereka sebagai penderita psikopat/sosiopat. Namun pemahaman tersebut keliru, karena seorang psikopat/sosiopat melakukan tindakan kejam mereka untuk diri sendiri (motif egois). Individu psikopat tidak pernah memiliki relasi yang baik dengan orang lain. Kalau pun mereka memiliki relasi yang baik, itu hanyalah sementara dan berlangsung dalam waktu yang sangat pendek, yaitu selama relasi tersebut menguntungkan mereka. Ketika tujuan mereka sudah tercapai, maka mereka dengan mudah memutuskan atau bahkan merusak relasi tersebut. Biasanya gangguan kepribadian psikopat ini dapat dikenali dari gejala yang muncul seperti tersebut di atas. Penderita kompleks Robinhood sebaliknya, meskipun mereka melakukan tindakan yang brutal, kejam dan jahat serta sama seperti penderita psikopat yaitu tidak merasa bersalah dengan apa yang dibuatnya, namun mereka memiliki ikatan bahkan jaringan persahabatan yang baik dengan orang yang sekeyakinan dengan mereka. Tindakan mereka pun lebih dimotivasi oleh perjuangan kelompok daripada motif egois. Pada pandangan mereka, apa yang mereka lakukan adalah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan cara yang mereka tempuh bisa dibenarkan. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dipanggil untuk menjadi “pahlawan” bagi kelompok atau sesuatu yang mereka bela. Oleh karena itu mereka tidak segan-segan melakukan tindakan-tindakan dramatis (bahkan kalau perlu melakukan tindakan bom bunuh diri, misalnya) karena keyakinan tersebut tertanam dengan kuat dalam sanubari mereka. Kalau pun mereka tertangkap, mereka lalu menunjukkan tingkah laku yang mencerminkan kebanggaan mereka atas usaha yang telah mereka lakukan. Ciri pembeda lainnya dengan psikopat adalah para psikopat biasanya tidak memiliki lagi nurani. Sedangkan penderita kompleks Robinhood ini masih memiliki nurani. Mereka kejam dan seolah tidak memiliki nurani sebatas pada tindakan yang dilatari keyakinan mereka saja, namun dalam aspek kehidupan lainnya, misalnya dalam hubungan dengan keluarga, saudara dan teman, mereka sama seperti orang lainnya, bisa juga merasa bersalah, mencintai dan membangun relasi yang baik dengan orang lain.


Berdasarkan pandangan kesehatan mental konvensional, nampaknya akan menemui kesulitan untuk menggolongkan penderita kompleks Robinhood ini sebagai “tidak sehat secara mental alias terganggu jiwanya”. Ini dikarenakan umumnya mereka memiliki kemampuan menyesuaikan diri yang baik, sama seperti orang lainnya sehingga bila dilakukan psikotes pun akan sulit menemukan penyimpangan tersebut. Hanya dalam hal sistem nilai, nampaknya mereka mengambil nilai-nilai yang menyimpang dari nilai kemanusiaan. Oleh karena itu perlu dipikirkan untuk meredifinisikan pemahaman mengenai kesehatan mental itu sendiri, sehingga mencakup pada tataran nilai.

Situasi yang melatari munculnya penderita kompleks Robinhood


Seperti dalam cerita Robinhood, ketidakadilan, kemiskinan dan kebodohan merupakan situasi yang sangat kondusif bagi munculnya penderita kompleks Robinhood ini.


Situasi ketidakadilan yang menjadi-jadi, yang dialami oleh suatu kelompok oleh kelompok lain atau bisa juga suatu negara oleh negara lain bisa memacu timbulnya kompleks ini. Ketidakadilan tersebut bisa berupa ketidakadilan di bidang ekonomi, politik maupun penetrasi budaya (agama seringkali disangkutkan) atau interaksi di antara dua atau lebih faktor tersebut. Tindakan teroris yang terjadi akhir-akhir ini nampaknya lebih diwarnai dengan masalah ketidakadilan yang saling tumpang tindih antara faktor politik, budaya dan ekonomi.


Barat yang selalu menang di bidang politik dunia (khususnya Amerika) dirasakan sebagai suatu ketidakadilan. Ini masih dipicu dengan anggapan masyarakat yang pada umumnya melihat budaya Barat sebagai budaya Kristen/Nasrani, dan memiliki sejarah luka dalam yang berakar pada perang salib, perang yang diyakini dilakukan oleh kelompok nasrani melawan kelompok muslim, meskipun di baliknya tersimpan motif perebutan wilayah, bukan semata dimotivasi oleh agama. Secara ekonomi pun Barat umumnya lebih kuat dibanding negara lainnya. Situasi ini melahirkan benih yang subur bagi kelompok-kelompok teroris, yang bisa berujud menjadi suatu organisasi bahkan negara. Faktor ketidakadilan yang melatari tindakan teroris inilah, yang membuat kita, jauh dalam ketidaksadaran kita, bila kita ditempatkan pada kelompok/negara yang dianggap menerima perlakuan tidak adil tersebut, mendukung dan menyetujui tindakan teroris tersebut. Ini nampaknya yang membuat pemerintah gamang dan bahkan marah ketika awal mula mendapatkan tuduhan bahwa di negara ini merupakan sarang teroris. Apalagi yang melakukan tuduhan tersebut dalam ketidaksadaran rakyat negeri ini, juga para petingginya adalah “sang penguasa yang lalim”.


Pemahaman tersebut di atas menunjukkan juga peranan pihak Barat (khususnya Amerika) dalam politik luar negeri mereka yang mengacu pada munculnya rasa ketidakadilan (contoh konkretnya adalah keberpihakan mereka terhadap Israel lebih daripada Palestina) yang mengantarai suburnya terorisme. Boleh dikata, sebenarnya mereka sendirilah yang menanam benih teroris ini, lalu sekarang mereka jugalah yang menuai badainya, dan kita terkena imbasnya.


Faktor kebodohan juga memberi andil bagi munculnya pelaku teroris. Kebodohan di sini bukan hanya sekedar pelakunya tidak mendapatkan pendidikan yang tinggi, namun lebih mengacu pada cara mendidik yang tidak memungkinkan peserta didik untuk berpikir reflektif. Pendidikan yang lebih mengutamakan metode indoktrinasi, yang menekankan bahwa kebenaran hanyalah satu, tidak ada kebenaran lainnya. Terutama adalah pendidikan yang dilakukan ketika para peserta didik belum menemukan jati diri yang mantap sehingga mereka terpesona dengan doktrin yang ditempelkan. Apalagi bila pada fase tersebut peserta didik memiliki idola yang sesuai dengan doktrin yang diajarkan, maka semakin kuat dan lengkaplah usaha untuk menciptakan pribadi yang rentan terhadap kompleks Robinhood ini.


Pemerintah kita mestinya memperhatikan masalah pendidikan ini. Sudah semestinya metode indoktrinasi (penjejalan) diganti dengan metode yang lebih memungkinkan peserta didik memiliki wawasan yang terbuka dan reflektif. Ini akan mendorong munculnya benih-benih toleransi dan pengertian, suatu hal mendasar bagi bangsa ini untuk membangun harga diri yang telah terkoyak selama ini.