Selasa, 19 Mei 2009

Kompleks Robinhood: Impian Menjadi Pahlawan

Pembaca tentunya sedikit banyak mengenal tokoh Robinhood, yang dalam cerita digambarkan sebagai orang yang pandai memanah dan berkelahi. Dia memiliki kelompok yang mendukungnya dalam berbagai aksinya, yaitu mencuri dan merampok harta para bangsawan, kemudian membagi-bagikannya kepada kaum miskin. Musuh utamanya adalah penguasa yang dianggap lalim, karena memungut pajak yang tinggi sehingga rakyat menderita. Tokoh ini muncul sebagai pembela kaum tertindas. Dia dielu-elukan oleh rakyat, dan bagi para pembacanya, hampir tidak ada yang menolak kalau dia dianggap sebagai pahlawan. Itulah menariknya tokoh ini, meskipun dia mencuri/merampok (melakukan kejahatan), namun hampir tidak ada orang yang menyalahkannya karena dia melakukannya untuk orang lain. Bahkan tokoh ini, dalam cerita, juga mengidentifikasikan diri sebagai seorang pemimpin dan pahlawan serta sama sekali tidak merasa bersalah dengan apa yang dilakukannya.


Nampaknya tokoh Robinhood merupakan tokoh yang pas untuk menggambarkan gejala-gejala/simtom-simtom yang dialami oleh para pelaku tindakan teror/teroris. Mereka melakukan tindakan-tindakan kejahatan, namun di balik tindakan tersebut terkandung motivasi untuk melakukan pembelaan terhadap sesuatu, entah ideologi (termasuk di dalamnya agama), kebangsaan, atau lainnya. Gejala utamanya adalah walaupun mereka melakukan tindakan kejahatan, yang sering kali dianggap biadab oleh orang lain, namun pelakunya sama sekali tidak merasa bersalah dan bahkan gembira melihat hasil perbuatannya. Baru setelah dilakukan pemeriksaan, terungkap bahwa mereka melakukan tindakan-tindakan teror tersebut karena dimotivasi oleh suatu tujuan “mulia”, entah demi ideologi/keyakinan yang mereka pegang, atau oleh suatu cita-cita lainnya.


Orang seringkali salah paham dan menganggap mereka sebagai penderita psikopat/sosiopat. Namun pemahaman tersebut keliru, karena seorang psikopat/sosiopat melakukan tindakan kejam mereka untuk diri sendiri (motif egois). Individu psikopat tidak pernah memiliki relasi yang baik dengan orang lain. Kalau pun mereka memiliki relasi yang baik, itu hanyalah sementara dan berlangsung dalam waktu yang sangat pendek, yaitu selama relasi tersebut menguntungkan mereka. Ketika tujuan mereka sudah tercapai, maka mereka dengan mudah memutuskan atau bahkan merusak relasi tersebut. Biasanya gangguan kepribadian psikopat ini dapat dikenali dari gejala yang muncul seperti tersebut di atas. Penderita kompleks Robinhood sebaliknya, meskipun mereka melakukan tindakan yang brutal, kejam dan jahat serta sama seperti penderita psikopat yaitu tidak merasa bersalah dengan apa yang dibuatnya, namun mereka memiliki ikatan bahkan jaringan persahabatan yang baik dengan orang yang sekeyakinan dengan mereka. Tindakan mereka pun lebih dimotivasi oleh perjuangan kelompok daripada motif egois. Pada pandangan mereka, apa yang mereka lakukan adalah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan cara yang mereka tempuh bisa dibenarkan. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dipanggil untuk menjadi “pahlawan” bagi kelompok atau sesuatu yang mereka bela. Oleh karena itu mereka tidak segan-segan melakukan tindakan-tindakan dramatis (bahkan kalau perlu melakukan tindakan bom bunuh diri, misalnya) karena keyakinan tersebut tertanam dengan kuat dalam sanubari mereka. Kalau pun mereka tertangkap, mereka lalu menunjukkan tingkah laku yang mencerminkan kebanggaan mereka atas usaha yang telah mereka lakukan. Ciri pembeda lainnya dengan psikopat adalah para psikopat biasanya tidak memiliki lagi nurani. Sedangkan penderita kompleks Robinhood ini masih memiliki nurani. Mereka kejam dan seolah tidak memiliki nurani sebatas pada tindakan yang dilatari keyakinan mereka saja, namun dalam aspek kehidupan lainnya, misalnya dalam hubungan dengan keluarga, saudara dan teman, mereka sama seperti orang lainnya, bisa juga merasa bersalah, mencintai dan membangun relasi yang baik dengan orang lain.


Berdasarkan pandangan kesehatan mental konvensional, nampaknya akan menemui kesulitan untuk menggolongkan penderita kompleks Robinhood ini sebagai “tidak sehat secara mental alias terganggu jiwanya”. Ini dikarenakan umumnya mereka memiliki kemampuan menyesuaikan diri yang baik, sama seperti orang lainnya sehingga bila dilakukan psikotes pun akan sulit menemukan penyimpangan tersebut. Hanya dalam hal sistem nilai, nampaknya mereka mengambil nilai-nilai yang menyimpang dari nilai kemanusiaan. Oleh karena itu perlu dipikirkan untuk meredifinisikan pemahaman mengenai kesehatan mental itu sendiri, sehingga mencakup pada tataran nilai.

Situasi yang melatari munculnya penderita kompleks Robinhood


Seperti dalam cerita Robinhood, ketidakadilan, kemiskinan dan kebodohan merupakan situasi yang sangat kondusif bagi munculnya penderita kompleks Robinhood ini.


Situasi ketidakadilan yang menjadi-jadi, yang dialami oleh suatu kelompok oleh kelompok lain atau bisa juga suatu negara oleh negara lain bisa memacu timbulnya kompleks ini. Ketidakadilan tersebut bisa berupa ketidakadilan di bidang ekonomi, politik maupun penetrasi budaya (agama seringkali disangkutkan) atau interaksi di antara dua atau lebih faktor tersebut. Tindakan teroris yang terjadi akhir-akhir ini nampaknya lebih diwarnai dengan masalah ketidakadilan yang saling tumpang tindih antara faktor politik, budaya dan ekonomi.


Barat yang selalu menang di bidang politik dunia (khususnya Amerika) dirasakan sebagai suatu ketidakadilan. Ini masih dipicu dengan anggapan masyarakat yang pada umumnya melihat budaya Barat sebagai budaya Kristen/Nasrani, dan memiliki sejarah luka dalam yang berakar pada perang salib, perang yang diyakini dilakukan oleh kelompok nasrani melawan kelompok muslim, meskipun di baliknya tersimpan motif perebutan wilayah, bukan semata dimotivasi oleh agama. Secara ekonomi pun Barat umumnya lebih kuat dibanding negara lainnya. Situasi ini melahirkan benih yang subur bagi kelompok-kelompok teroris, yang bisa berujud menjadi suatu organisasi bahkan negara. Faktor ketidakadilan yang melatari tindakan teroris inilah, yang membuat kita, jauh dalam ketidaksadaran kita, bila kita ditempatkan pada kelompok/negara yang dianggap menerima perlakuan tidak adil tersebut, mendukung dan menyetujui tindakan teroris tersebut. Ini nampaknya yang membuat pemerintah gamang dan bahkan marah ketika awal mula mendapatkan tuduhan bahwa di negara ini merupakan sarang teroris. Apalagi yang melakukan tuduhan tersebut dalam ketidaksadaran rakyat negeri ini, juga para petingginya adalah “sang penguasa yang lalim”.


Pemahaman tersebut di atas menunjukkan juga peranan pihak Barat (khususnya Amerika) dalam politik luar negeri mereka yang mengacu pada munculnya rasa ketidakadilan (contoh konkretnya adalah keberpihakan mereka terhadap Israel lebih daripada Palestina) yang mengantarai suburnya terorisme. Boleh dikata, sebenarnya mereka sendirilah yang menanam benih teroris ini, lalu sekarang mereka jugalah yang menuai badainya, dan kita terkena imbasnya.


Faktor kebodohan juga memberi andil bagi munculnya pelaku teroris. Kebodohan di sini bukan hanya sekedar pelakunya tidak mendapatkan pendidikan yang tinggi, namun lebih mengacu pada cara mendidik yang tidak memungkinkan peserta didik untuk berpikir reflektif. Pendidikan yang lebih mengutamakan metode indoktrinasi, yang menekankan bahwa kebenaran hanyalah satu, tidak ada kebenaran lainnya. Terutama adalah pendidikan yang dilakukan ketika para peserta didik belum menemukan jati diri yang mantap sehingga mereka terpesona dengan doktrin yang ditempelkan. Apalagi bila pada fase tersebut peserta didik memiliki idola yang sesuai dengan doktrin yang diajarkan, maka semakin kuat dan lengkaplah usaha untuk menciptakan pribadi yang rentan terhadap kompleks Robinhood ini.


Pemerintah kita mestinya memperhatikan masalah pendidikan ini. Sudah semestinya metode indoktrinasi (penjejalan) diganti dengan metode yang lebih memungkinkan peserta didik memiliki wawasan yang terbuka dan reflektif. Ini akan mendorong munculnya benih-benih toleransi dan pengertian, suatu hal mendasar bagi bangsa ini untuk membangun harga diri yang telah terkoyak selama ini.

Kamis, 18 Desember 2008

PSIKOLOGI KEKERASAN


Fenomena kekerasan
Berbicara mengenai kekerasan berarti juga berbicara mengenai salah satu tingkah laku primitif manusia yang masih langgeng sampai sekarang. Perilaku kekerasan sudah setua usia peradaban manusia. Kitab suci jelas menunjukkan kekerasan yang dilakukan oleh Kain terhadap Habil[1]. Hanya karena iri, sang kakak rela melakukan tindakan pembunuhan terhadap adiknya.


Kekerasan juga terjadi di mana-mana. Selain melintasi dimensi waktu seperti tersebut di atas, kekerasan juga melintasi batas-batas wilayah, bahkan suku dan agama sekalipun. Kekerasan terjadi pada lingkup yang paling kecil sampai dengan wilayah yang sangat luas. Kekerasan dalam keluarga merupakan contoh lingkup kekerasan yang paling kecil. Suami melakukan kekerasan terhadap istri dan atau anak-anaknya. Istri melakukan kekerasan terhadap anak-anak dan seterusnya. Pada kontinum yang paling luas tindak kekerasan berujud peperangan antar negara bahkan antar beberapa negara (perang dunia) sampai pada genocide, pembantaian suatu suku/ras oleh suku/ras lainnya seperti yang dilakukan oleh Nazi Jerman terhadap Yahudi atau pada penduduk Bosnia oleh tentara Serbia.


Sejarah mencatat, kekerasan yang paling kejam dan brutal serta tidak berperikemanusiaan sering kali dilakukan atas nama agama. Sejarah gereja membuktikan hal tersebut. Bagaimana gereja (Roma Katolik) waktu itu mengejar-kejar pengikut Martin Luther untuk disiksa dan dibunuh (lidah dipotong, menggunakan alat-alat penyiksaan yang sangat kejam seperti alat untuk menarik tulang, dibakar, diterjunkan ke sungai dengan diberi pemberat dan lain sebagainya). Namun nampaknya kekerasan yang dilakukan oleh gereja Roma Katolik tidak memberikan pelajaran bagi pengikut Protestan kemudian. Mereka pun melakukan hal yang sama terhadap kelompok yang kemudian dinamai dengan gerakan anabaptis (pembaptisan ulang) yang sekarang dikenal sebagai kelompok Mennonite. Kita masih bisa menyaksikan kekerasan yang dilakukan gereja di saat ini di negeri ini pada kelompok yang dikenal sebagai sekte hari kiamat.


Terakhir, kekerasan juga bisa dilihat dalam bentuk aksi-aksi teror yang sekarang ini menghantui seluruh dunia. Terorisme yang paling jahat dan brutal justru bila dilakukan atas nama agama/keyakinan tertentu. Kalau kita menyaksikan di media, pelakunya sama sekali tidak menunjukkan penyesalan terhadap aksi yang telah dilakukannya. Bahkan mereka nampak puas dan bahagia. Bagi mereka, itu adalah cara mereka untuk berbakti kepada Tuhan, yaitu menumpas kebatilan dan penyesatan yang terjadi. Ini mirip bukan dengan slogan-slogan yang dilakukan oleh setiap kelompok agama untuk memusuhi kelompok lain? (Ingat apa yang dilakukan oleh kaum Farisi dan Ahli Taurat terhadap Yesus dan ajarannya yang dianggap “menyimpang”).
Fenomena kekerasan seperti yang diuraikan di atas, kiranya menjadi contoh yang jelas mengenai kekerasan yang mewarnai kehidupan manusia. Pertanyaannya adalah mengapa kekerasan begitu lekat dalam kehidupan manusia?

Akar Kekerasan
Kalau kita menganalogkan penyebab kekerasan dengan istilah “akar”, itu berarti merujuk pada sesuatu yang ada di bawah permukaan, dengan tingkah laku kekerasan sebagai sesuatu yang dimunculkan/dinampakkan. Akar berarti bahwa penyebab kekerasan itu sebenarnya tidak nampak, sedangkan kekerasan itu merupakan pohon atau bahkan buah dari yang tidak nampak tersebut.


Dulu banyak yang mengira bahwa kekerasan terjadi disebabkan oleh masalah tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi seseorang yang rendah. Namun sekarang ini semakin disadari bahwa tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi seringkali hanyalah sebagai faktor pencetus/pemicu saja. Ini terbukti dengan semakin ditemukannya kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi serta status sosial ekonomi yang mapan.


Ada beberapa akar penyebab terjadinya perilaku kekerasan. Pertama adalah adanya frustrasi yang dialami oleh pelaku tindak kekerasan[2]. Frustrasi dialami bila tujuan yang ingin dicapai dihalang-halangi sehingga yang bersangkutan gagal mencapai tujuannya. Faktor frustrasilah yang menjadi salah satu sumber mengapa mereka yang berpendidikan dan status sosial ekonomi rendah lebih rentan melakukan tindak kekerasan. Gaya hidup modern yang mengagungkan hedonisme[3] di satu sisi sedangkan mereka hanya memiliki sumber daya yang sangat terbatas pada sisi yang lain akan mudah sekali menimbulkan frustrasi.


Reaksi terhadap frustrasi umumnya ada tiga macam. Pertama adalah menghindari situasi yang menyebabkan frustrasi tersebut. Kedua dengan tingkah laku apati dan ketiga adalah dengan melakukan tingkah laku agresi. Biasanya keputusan untuk menggunakan salah satu dari ketiga reaksi tersebut didasarkan pada pertimbangan apakah pelaku merasa dirinya lemah/minoritas ataukah kuat/berkuasa/mayoritas. Bila dia merasa lemah, dia akan mengambil keputusan untuk melakukan tingkah laku menghindar terhadap situasi yang menyebabkan frustrasi. Bila situasi tersebut ternyata tidak bisa lagi dihindari, maka reaksi apati menjadi pilihan yang terakhir. Sebaliknya bila pelaku merasa dirinya lebih kuat, dia akan melakukan tindakan agresi terhadap situasi yang menyebabkan frustrasi.


Akar kekerasan kedua adalah adanya pengalaman abuse yang dialami pada masa kecil[4]. Ini terutama karena budaya pengasuhan kita umumnya mengijinkan tindakan kekerasan dilakukan terhadap anak. Anak yang mengalami pengasuhan dengan pola kekerasan, pada saat besar nanti juga akan mudah sekali melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain, meskipun sebenarnya dia tidak menyukainya. Ini terjadi begitu saja, baik pelakunya suka ataupun tidak suka. Dengan kata lain, korban abuse pada waktu kecil sangat berpotensi untuk menjadi abuser juga ketika dia dewasa.


Akar kekerasan ketiga adalah karena faktor kepribadian. Pada gangguan jiwa ada yang diistilahkan dengan gangguan kepribadian[5]. Salah satunya adalah gangguan kepribadian dengan pola agresif. Orang yang mengalami gangguan kepribadian pola agresif ini dicirikan dengan tingkah laku yang mudah tersinggung dan destruktif bila keinginannya tidak tercapai atau bila menghadapi situasi yang menyebabkannya menjadi frustrasi. Selain gangguan kepribadian, tingkah laku kekerasan juga terjadi karena adanya kepribadian status. Kepribadian status adalah kepribadian yang dimiliki oleh seseorang berkaitan dengan statusnya. Kepribadian status ini seringkali berbeda bahkan sangat berbeda dengan kepribadian asli dari orang yang bersangkutan. Peristiwa kekerasan yang menimpa para mahasiswa STPDN oleh seniornya adalah contoh dari kepribadian status tersebut. Pada kehidupan sehari-hari mungkin para mahasiswa yang melakukan tindak kekerasan tidak pernah ditemui melakukan hal yang sama kepada orang lain. Status sebagai senior menyebabkannya berperilaku keras terhadap yuniornya.

Pandangan Psikoanalisa terhadap kekerasan[6]
Bicara mengenai kekerasan dari sudut pandang psikologi, rasanya tak lengkap bila tidak meninjaunya dari teori psikoanalisa yang dikemukakan oleh Freud. Freud merupakan salah satu bapak psikologi yang sumbangan pemikirannya pada bidang psikologi (dan bahkan pada bidang lain) sangatlah besar, terlepas dari segala kontroversi yang dinyatakannya dalam bidang agama[7].


Menurut teori psikoanalisa, struktur jiwa manusia dibagi menjadi tiga, yaitu superego, ego dan id. Superego bekerja berdasarkan prinsip ideal (yang seharusnya). Isi superego adalah segala perintah dan larangan yang dibatinkan (internalisasi) dari orang tua dan tokoh-tokoh yang berkuasa (juga ajaran agama) bagi si anak. Ego bekerja berdasarkan prinsip realita. Egolah yang terutama menggerakkan perilaku sadar individu. Sedangkan id bekerja berdasarkan prinsip kenikmatan/kesenangan. Pribadi yang sehat adalah pribadi yang memiliki ego yang kuat sehingga mampu mengontrol dorongan yang berasal dari id maupun superegonya.


Pada dasarnya perilaku manusia digerakkan oleh dua dorongan dasar, yaitu dorongan untuk hidup (eros) dan dorongan untuk mati (thanatos). Dorongan untuk hidup kemudian oleh Freud dispesifikkan pada dorongan seks (libido) sebagai intinya. Ini disebabkan karena Freud melihat berdasarkan pengalaman prakteknya, banyak pasien yang mengalami gangguan mental disebabkan mereka tidak mampu mengekspresikan dorongan seks mereka secara wajar. Libido ini yang mengisi energi pada id.


Pada bagian lain, energi superego berasal dari thanatos. Itulah sebabnya mengapa orang yang superegonya kuat dan mendominasi kepribadiannya, mudah diliputi kecemasan dan rasa bersalah yang pada akhirnya membuat individu diliputi perasaan putus asa dan depresi (bahkan keinginan untuk bunuh diri). Ini terjadi karena energi thanatos diarahkan kepada diri sendiri. Sedangkan bila energi thanatos diarahkan ke luar, ini akan muncul dalam bentuk perilaku agresi yang bersifat destruktif termasuk di dalamnya rupa-rupa tindak kekerasan.


Berdasarkan pandangan psikoanalisa tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya dorongan untuk melakukan tindak kekerasan memang sudah menjadi sifat dasar manusia (bawaan). Semua manusia berpotensi (tanpa kecuali) untuk melakukan tindak kekerasan (entah terhadap diri sendiri maupun kepada orang lain).

Pandangan behaviorisme terhadap kekerasan[8]
Berbeda dengan psikoanalisa, behaviorisme berpendapat bahwa kekerasan disebabkan dari hasil belajar. Manusia akan cenderung mengulangi tingkah laku yang menguntungkan dirinya sehingga tingkah laku tersebut akhirnya menjadi sifat dirinya. Orang yang berbadan kekar cenderung akan melakukan tindakan agresif karena tindakan tersebut lebih banyak menguntungkan dirinya (orang lain yang badannya kecil akan kalah dengannya). Di sini berlaku prinsip penguatan (reinforcement).


Tingkah laku juga terjadi karena adanya modelling (belajar meniru). Bila lingkungan sekitar (orang tua, saudara, tetangga, media) menyajikan adegan-adegan kekerasan, maka sangatlah mungkin individu akan meniru tindakan kekerasan tersebut.Jadi, behaviorisme melihat bahwa perilaku kekerasan terjadi karena memang perlilaku tersebut membawa konsekuensi yang positif (menyenangkan) bagi individu pelakunya serta karena memang lingkungan menyediakan model-model untuk melakukannya.


Catatan kaki
[1] Kejadian 4:1 - 16
[2] Warga, R.G., 1983. Personal Awareness: A Psychology of Adjustment. Third edition. Houghton Mifflin Company.
[3] Hedonisme adalah pandangan/gaya hidup yang mengutamakan kenikmatan/kesenangan di atas segalanya. Pandangan ini masuk dalam gereja berupa teologia berkat untuk menarik jemaat sehingga sekarang ini banyak gereja yang lebih mengutamakan ajaran tentang berkat daripada salib dan penyangkalan diri (asketisme).
[4] Siswanto. 2003. Keluarga Disfungsi dalam materi kuliah Child Abuse yang disampaikan di STT Pesat Salatiga.
[5] Lazarus, R.S., 1976. Patterns of Adjusment. 3th edition. Tokyo: McGraw-Hill Kogaskusha, LTD
[6] Freud, S., 1983. Sekelumit Sejarah Psikoanalisa. Terjemahan oleh Karl Berten. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
[7] Bertens, K., 1987. Panorama Filsafat Modern. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
[8] Corey, G., 1988. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Penerjemah: E. Koeswara. Bandung: PT Eresco.

Minggu, 05 Oktober 2008

GEREJA DAN ILMU PENGETAHUAN: Sejarah Panjang Perjuangan Mencari Kebenaran


GEREJA DAN ILMU PENGETAHUAN: Sejarah Panjang Perjuangan Mencari Kebenaran

“the Bible teaches how to go to heaven, not how the heavens go”. (Kitab Suci mengajarkan bagaimana pergi ke surga, tidak mengajarkan bagaimana langit berputar”. (Galileo)
[i]

Belajar dari Sejarah dan Menjadi Bijak
Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan tidak bisa dilepaskan begitu saja dari upayanya melepaskan diri dari kekuasaan gereja. Sekularisme yang melanda Barat merupakan buah dari perjuangan panjang tersebut. Oleh karena itu banyak yang berpendapat adalah kurang tepat untuk menyamakan bangsa Barat dengan Kristiani atau Nasrani begitu saja karena pada dasarnya yang menjiwai manusia Barat bukanlah nilai – nilai Kristiani saja, tetapi lebih dari itu adalah sekularisme. Gereja, yang diwujudkan dalam bentuk bangunan maupun kebiasaan yang berkaitan dengannya, lebih merupakan warisan budaya yang memang dulunya pernah dikuasai oleh gereja yang saling kompromi dengan kekuasaan negara.
Abad di mana kekuasaan gereja begitu mendominasi sehingga interpretasi terhadap kebenaran sepenuhnya berada di tangan gereja, kemudian dikenal sebagai “abad kegelapan” , suatu sebutan yang sebetulnya ironis, karena gereja seringkali menyebut dirinya sendiri sebagai “pembawa terang”! Namun sebutan tersebut sekaligus juga menunjukkan munculnya antipati masyarakat Barat sendiri terhadap gereja dan ajarannya. Masyarakat Barat menaruh ketidakpercayaan yang besar bahkan mendalam terhadap ajaran gereja, mencurigai dan sekaligus bersikap skeptis mengenai kebenaran yang diajarkan oleh gereja.
Sumber ketidakpercayaan yang mendalam terhadap ajaran gereja bermuara dari begitu banyaknya korban akibat memegang keyakinan secara membuta terhadap dogma gereja beserta segenap ajarannya, tanpa dilandasi dengan fakta yang objektif. Begitu banyak orang yang dipenjarakan, disiksa bahkan dibunuh karena memegang fakta yang diyakini mereka sebagai kebenaran, yang berbeda dengan kebenaran yang diwartakan oleh gereja, yang waktu itu diyakini bersumber dari kitab suci. Melawan ajaran gereja disamakan dengan melawan kitab suci dan oleh karena itu berarti melawan Allah sehingga perlu mendapatkan hukuman! Mereka dianggap sebagai tersesat dan kalau mengaku salah serta bertobat, baru mendapatkan pengampunan. Gereja pada waktu itu betul – betul menganggap dirinya sebagai penguasa mutlak untuk interpretasi atas kebenaran dan pengetahuan.
Sejak awal kemunculannya pada abad ke – 16, ilmu pengetahuan mulai mengemukakan gagasan baru yang mengubah pandangan atau gambaran tentang alam semesta, kedudukan manusia di dunia, pandangan mengenai Tuhan sendiri, bahkan akhir – akhir ini mengenai misteri manusia yang mulai dikuak oleh psikologi, suatu ilmu pengetahuan yang relatif muda karena baru muncul pada awal abad ke – 19. Tentu saja ini membawa ketegangan yang terus – menerus terhadap ajaran dan dogma gereja yang cenderung statis. Ajaran gereja cenderung mencurigai ilmu pengetahuan karena seringkali penemuan ilmu pengetahuan dianggap bisa menggoyahkan iman pemeluknya. Thomas, salah satu murid Yesus, sering dianggap mewakili ciri sikap ilmiah yang selalu bersikap skeptis, tidak begitu saja mempercayai sesuatu tanpa disertai bukti konkrit. Sikap seperti yang ditunjukkan Thomas dimaknai secara negatif dalam kebanyakan materi kotbah sebagai sikap orang yang kurang percaya. “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali – kali aku tidak akan percaya.” Dilupakan, bahwa Yesus pun menghargai sikap seperti yang ditunjukkan oleh Thomas dengan tetap menampakkan diri kepadanya. Ini memberikan penuntun bahwa apa yang dilakukan oleh ilmuwan dengan sikap skeptisnya tidaklah bertentangan dengan kitab suci.
[ii]
Meskipun sering kali mendapatkan tentangan dari agama (dalam hal ini memang tidak khusus pada agama Kristiani saja, karena semua agama pada akhirnya memiliki sikap yang serupa), ilmu pengetahuan terus maju memantapkan langkahnya sebagai cara manusia untuk mengetahui realita dan kebenaran, meskipun dalam perjalanannya bukan tanpa korban. Satu demi satu ilmuwan mendapatkan hukuman, dipenjara dan beberapa di antaranya bahkan dibunuh karena hasil pemikiran mereka dianggap sesat dan bertentangan dengan ajaran gereja pada waktu itu. Galileo sebagai contohnya.
Galileo Galilei, seorang ilmuwan muda pada awal tahun 1600 – an berhasil membuat teleskop modern yang pertama di Eropa. Melalui teleskop tersebut, Galileo melakukan pengamatan terhadap alam semesta. Ilmu astronomi kala itu merupakan ilmu yang bagi kebanyakan orang masih dipandang berbau magis dan sekaligus ilmu pengetahuan. Sebelum Galileo, tidak ada alat yang mencukupi untuk mempelajari alam semesta secara lebih rinci. Orang pada waktu itu mengikuti sistem Ptolomeus untuk menjelaskan alam semesta. Teori Ptolomeus mendapatkan dukungan dari Gereja karena menyatakan bahwa bumi adalah pusat tata surya. Matahari, bulan dan bintang berputar mengelilingi bumi. Teori ini memberikan penjelasan yang waktu itu berdasarkan logika Aristoteles, cukup masuk akal. Apalagi apa yang dinyatakan oleh teori Ptolomeus tersebut mendapatkan pembenaran dari Kitab Suci.
[iii]
Dengan bantuan teleskopnya, Galileo menemukan bahwa Venus mengelilingi matahari, bukan mengelilingi bumi seperti yang diyakini pada waktu itu. Kalau venus mengelilingi matahari, sedangkan matahari dan planet – planet lain mengelilingi bumi, sistem tata surya menjadi kompleks, rumit, dan membingungkan. Oleh karena itu teori alam semesta dengan bumi sebagai pusat patut dicurigai. Sebagai gantinya, Galileo menyetujui gagasan Copernicus, seorang imam Polandia yang pada tahun 1543 menyatakan gagasan, adalah jauh lebih sederhana secara matematis bila bumilah yang mengelilingi matahari, bukan sebaliknya.
Tentu saja pendapat Galileo yang mendukung hipotesis Copernicus mendapatkan tentangan dari pihak Gereja. Pada tahun 1616 Gereja mengumumkan bahwa hipotesis Copernicus yang menyatakan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, secara formal sesat karena dengan jelas bertentangan dengan ajaran Kitab Suci baik menurut arti harfiahnya maupun berdasarkan penafsiran umum Bapa – bapa Gereja. Namun Galileo tetap saja mengembangkan pendapatnya yang diyakininya sebagai kebenaran, meskipun dengan hati – hati. Pada tahun 1610 Galileo menerbitkan buku yang berjudul Siderius Nuntius, yang menjadi kontroversi mengenai alam semesta. Akhirnya dia mendapatkan hukuman semacam tahanan rumah. Pada bulan tanggal 22 Juni 1633 teorinya secara resmi dikecam oleh Gereja dan dinyatakan sebagai sesat. Galileo dipaksa sambil bersumpah akan menolak kepercayaan pada alam semesta heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya) dan bahwa bumi tidak bergerak mengelilingi matahari. Pemaksaan ini perlu agar bisa menghindari hukuman pengucilan dan bahkan mungkin kematian yang lebih dini (dan tidak wajar).
Kebenaran pada akhirnya tetap akan menyatakan dirinya. Ilmu pengetahuan terus maju, teleskop buatan Galileo terus disempurnakan dan semakin banyak yang menggunakan sehingga dengan sendirinya semakin banyak orang yang mengakui kebenaran pendapat Galileo. Lalu bagaimana dengan gereja sendiri? Baru pada tahun 1822 Gereja Katolik secara formal mengizinkan sistem heliosentris diajarkan di negeri – negeri Katolik. Kemudian baru pada tahun 1992 (kurang lebih 300 tahun kemudian!) Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan permintaan maaf Gereja Katolik secara anumerta kepada Galileo.
[iv]Galileo adalah riak kecil pencarian kebenaran yang kemudian berbenturan dengan kepercayaan keagamaan. Ada banyak martir atau sahid, baik yang berasal dari ilmuwan sendiri maupun mereka yang melakukan interpretasi sendiri terhadap kitab suci yang kemudian dianggap sebagai sesat, kemudian diperlakukan secara tidak manusiawi. Sejarah gelap seperti itulah yang kemudian memantapkan bangsa Barat untuk memalingkan diri dari kepercayaan agama dan mengarahkan pandangannya kepada sekularisme. Sejarah mengajarkan, kepercayaan yang buta tanpa diterangi oleh ilmu pengetahuan hanya akan menghasilkan kepercayaan yang palsu bahkan pada akhirnya berakhir dengan memalukan! Keyakinan agama perlu diterangi oleh ilmu pengetahuan sehingga iman yang dihasilkan tidak dikotori dengan prasangka – prasangka yang pada akhirnya justru menyesatkan.
[i] Kealy, S.P., CSSp., 1994. Ilmu Pengetahuan dan Kitab Suci. Terjemahan & Pengantar oleh Sudarminta, SJ. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hlm.18
[ii] bnd. Yohanes 20:24 – 29.
[iii] Bnd. Yosua 10:12,13. Lalu Yosua berbicara kepada TUHAN pada hari TUHAN menyerahkan orang Amori itu kepada orang Israel; ia berkata di hadapan orang Israel: "Matahari, berhentilah di atas Gibeon dan engkau, bulan, di atas lembah Ayalon!"Maka berhentilah matahari dan bulanpun tidak bergerak, sampai bangsa itu membalaskan dendamnya kepada musuhnya. Bukankah hal itu telah tertulis dalam Kitab Orang Jujur? Matahari tidak bergerak di tengah langit dan lambat-lambat terbenam kira-kira sehari penuh. Istilah matehari terbit dan terbenam yang kita gunakan, sebetulnya implisit menunjukkan pendapat bahwa mataharilah yang berjalan, bukan bumi. Hanya karena kita telah memahami betul mengenai tata surya, pengertian sehari- hari ini lalu tidak lagi menjadi persoalan. Namun dulu ini menjadi persoalan yang serius karena kitab suci seringkali menggunakan istilah serupa dan orang menterjemahkannya seperti apa adanya. Bumi dianggap datar serta langit di atas tempat menggantungnya matahari, bulan dan bintang. Benda – benda langit itulah yang berjalan, sedangkan bumi tetap tinggal di tempat.
[iv] Lowney, C., 2005. Heroic Leadership. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 100 – 105.

Kamis, 11 September 2008

Keallahan & Kemanusiaan Yesus


"Tidakkah ada tertulis dalam kitab Taurat kamu: Aku telah berfirman: Kamu adalah allah? Jikalau mereka, kepada siapa firman itu disampaikan, disebut allah--sedang Kitab Suci tidak dapat dibatalkan--, masihkah kamu berkata kepada Dia yang dikuduskan oleh Bapa dan yang telah diutus-Nya ke dalam dunia: Engkau menghujat Allah! Karena Aku telah berkata: Aku Anak Allah?”[i]

Misteri Sekitar Keilahian dan Kemanusiaan Yesus
Salah satu pokok yang paling sulit dan rumit dalam iman dan dogmatika Kristen adalah yang berkaitan dengan ke –Allahan dan kemanusiaan Yesus. Bahwa Yesus adalah 100% manusia dan juga sekaligus 100% Allah. Pokok ini telah menjadi perdebatan yang sengit dan berkepanjangan dalam sejarah gereja sendiri bahkan mungkin hingga kini. Apalagi bagi orang di luar iman Kristen, ke – Allahan dan sekaligus kemanusiaan Yesus menjadi makanan empuk untuk dipersoalkan, selain ajaran mengenai ketritunggalan Allah.
Pokok keilahian dan kemanusiaan Yesus kurang mendapatkan penjelasan yang memadai sehingga bagi mereka yang menginginkan pemahaman yang lebih masuk akal menjadi kurang terpuaskan. Akhirnya, gereja mengajarkan bahwa pokok tersebut tidaklah untuk dijelaskan apalagi diperdebatkan, namun untuk diimani karena menurut gereja itu merupakan misteri. Justru itu menjadi lebih berbahaya bila menutup kemungkinan untuk berdialog, apalagi berdialog dengan ilmu pengetahuan yang sudah semakin maju dan berkembang, dengan berbagai ragam pemikiran yang berkembang pula. Iman yang tidak diterangi oleh pengetahuan bisa menjadi sangat berbahaya, seperti yang pernah terjadi dalam sejarah gelap gereja.
Tulisan ini bermaksud untuk menyumbang gagasan yang perlu diolah lebih lanjut oleh para teolog. Sepanjang pengalaman penulis bergereja, pokok keilahian dan kemanusiaan Yesus mendapatkan porsi yang sedikit sekali dibahas dalam kotbah. Kalau pun dibahas, akhirnya pemahaman mengenai keilahian dan kemanusiaan tersebut menjadi berat sebelah, ketika Yesus mengadakan mujizat, di situlah dianggap keilahiannya dimunculkan. Sebaliknya, peristiwa sengsara Yesus dipahami sebagai wujud kemanusiaannya. Terjadilah dualisme mengenai Yesus sehingga apa yang dijelaskan bukannya membuat semakin terang, malah semakin menjadi tanda tanya, karena akhirnya bisa jatuh berat sebelah: Yesus hanya Allah yang menyamar menjadi manusia (hakekatNya hanyalah Allah). Sekarang ini nampaknya sebagian besar gereja implisit memihak pada pendapat ini. Atau sebaliknya, penjelasan mengenai Yesus jatuh pada sisi kemanusiaannya (hakekatNya adalah manusia), yang hanya sedikit pengikutnya dan biasanya sudah langsung dianggap sesat oleh gereja – gereja, seperti aliran New Age Movement.
Bagaimana kata Alkitab mengenai Yesus? Ketika Yesus dilahirkan, Dia sama seperti bayi – bayi lainnya, tidak ada hal yang istimewa dalam diriNya. Ia lahir, tumbuh dan menjadi besar sama seperti manusia pada umumnya, tidak ada hal yang istimewa yang menunjukkan bahwa Dia berbeda. Ia lahir, dibungkus dengan kain lampin, layaknya bayi yang membutuhkan kehangatan, tidur, tidak berdaya sehingga orang tuaNya perlu melarikan diri ke tanah Mesir untuk menyelamatkan hidupNya dari pembantaian bayi yang dilakukan oleh Herodes.. Ketika berumur 12 tahun disebutkan, bahwa Yesus makin bertambah besar dan makin bertambah hikmatNya dan besarNya, dan makin dikasihi Allah dan manusia.[ii] Namun kata – kata tersebut juga digunakan pada Yohanes Pembaptis[iii] dan Samuel[iv].
Ketika Yesus dewasa, Alkitab secara jelas juga menunjukkan bahwa Dia manusia biasa yang bisa letih[v], lapar[vi], haus[vii], memiliki emosi seperti manusia lainnya seperti sedih[viii] takut atau gentar[ix], marah[x], menangis[xi] dan berbagai emosi lainnya yang juga dimiliki oleh manusia.
Namun Yesus juga memiliki kelebihan – kelebihan yang tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Kisah di seputar kelahiranNya, di mana malaikat memberitakan kepada gembala mengenai kelahiran seorang raja besar, kedatangan orang – orang Majus, ada pernyataan dari malaikat bahwa bayi tersebut adalah Anak Allah Yang Mahatinggi[xii]. Yesus pun mengamini ketika Petrus menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang Hidup[xiii]. Perbuatan – perbuatan luar biasa yang dilakukanNya selama hidup, pernyataan – pernyataanNya sendiri mengenai relasiNya dengan Allah Bapa juga menunjukkan bahwa Yesus lebih dari sekedar manusia biasa. Apalagi kebangkitanNya dari kematian menunjukkan bahwa Dia memang bukan manusia biasa!
Inilah yang kemudian menjadi pergumulan gereja sepanjang jaman bahkan orang – orang di luar kekristenan mengenai jati diri Yesus yang sebenarnya, dan mengundang banyak penafsiran. Siapakah Yesus sebenarnya?


[i] Yoh 10:34 -36
[ii] Luk 2: 52; peristiwa kelahiran Yesus bisa dibaca dalam Lukas 2 ini. Tidak ada yang istimewa pada bayi Yesus, tidak seperti cerita – cerita kelahiran tokoh – tokoh agama lain seperti Sang Budha Gautama misalnya yang ketika dilahirkan sudah dapat berjalan dan berbicara. Penulis mendapatkan banyak informasi mengenai keilahian dan kemanusiaan Yesus dari sudut pandang teologis dari bukunya Hadiwijono, H. berjudul Iman Kristen, 1984, Jakarta: Penerbit BPK Gunung Mulia. Hal. 305 – 318. Banyak pemikiran dalam buku tersebut yang patut diperhatikan karena memuat gagasan teologis yang berbeda dengan pemikiran teologia Barat, yang sekarang ini banyak dianut oleh gereja – gereja. Padahal pemikiran Barat nyata – nyata berbeda dengan pemikiran Timur dan hanya mengungkap satu sudut pandang saja dalam memahami Alkitab demikian juga dalam memahami kebenaran/fakta/realita. Ilmu pengetahuan, khususnya ilmu – ilmu sosial sudah menyadari keterbatasan pola pikir Barat tersebut sehingga sekarang ini banyak dikritisi dan bahkan tidak digunakan lagi sebagai kerangka analisis. Serangan paling kuat dan tajam adalah dalam dunia pendidikan, dimana cara berpikir Barat yang dualistis (memisahkan tubuh dengan jiwa, dan terlalu memberi perhatian pada akal budi/olah pikir) mendapatkan penolakan dengan munculnya berbagai ide dalam pembelajaran seperti accelerated learning, quantum learning, quantum teaching, pembelajaran eksperensial dan lain – lain. Padahal filsafat dan pola pikir dualistis itulah yang selama ini mewarnai dominasi pemikiran teologi Barat yang juga masih mendominasi teologia kita. Pola pikir tersebut bukan saja tidak mencukupi, bahkan dalam banyak hal menyesatkan karena Alkitab menjadi ditafsir secara simplistic. Misalnya, pemahaman gambar dan rupa Allah dalam kejadian ditafsir semata bahwa manusia diberi akal budi (Hadiwijono, hal. 189 dst.). Mitologi Yunani selalu mengisahkan bahwa kalau manusia memiliki kekuatan (seperti Hercules), pastilah dia setengah dewa atau dewa itu sendiri, karena dalam mitologi tersebut, kesaktian, kekuatan yang sifatnya di luar kewajaran bukanlah milik manusia, tetapi milik para dewa. Ini berbeda sekali dengan mitologi Timur, yang memungkinkan manusia mempunyai kekuatan tersebut tanpa harus berkaitan dengan masalah kedewaan.
[iii] Luk 1:15
[iv] I Sam 2:26
[v] Yoh 4:6
[vi] Mat 4:2; Luk 4:2; Mrk 11:12; Mat 21:18
[vii] Yoh 4:7; 19:28
[viii] Mrk 14:34, Mat 26:37, 38
[ix] Mat 26:37; Mrk 14:33
[x] Mrk 3:5; 8:33; 10:14
[xi] Luk 19:41; Yoh 11:35
[xii] Luk 1:32
[xiii] Mat 16:16,17

Minggu, 24 Agustus 2008

Mengenal Hipnotisme

Hipnotisme dalam sejarahnya memang dekat dengan upaya untuk menyembuhkan orang dari sakit yang diderita. Bagaimana sejarah sejarah hipnotisme itu sendiri, munculnya kesembuhan ilahi yang akarnya ternyata sama dengan hipnotisme, dapat dilihat versi singkatnya Click here to download file

Jumat, 22 Agustus 2008

Antara Kesembuhan Ilahi & Hipnotisme

KESEMBUHAN ILAHI DENGAN HIPNOTIS
“Maukah Engkau sembuh?”[i]

Fenomena Kesembuhan Ilahi
Menarik, acara – acara kesembuhan ilahi selalu digandrungi lebih daripada kebaktian/acara ritual biasa. Ini tentunya disebabkan orang ingin bukan hanya saja sekedar mengikuti kebaktian, tetapi juga ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri mujizat apa yang kira – kira akan terjadi. Rasa ingin tahu yang besar, yang merupakan sifat alami manusia menjadi motivasi kuat untuk menghadiri acara – acara tersebut. Gereja – gereja mulai melirik acara ini untuk dimunculkan dalam ibadah rutin mereka, jadi bukan hanya sekedar pada acara – acara khusus seperti KKR misalnya. Tentu saja ini menjadi daya tarik tersendiri bagi jemaat maupun simpatisan untuk menghadiri acara kebaktian tersebut. Macam – macam motivasi untuk mengikuti acara tersebut. Banyak yang ingin tahu dan ingin menyaksikan sendiri apakah kesembuhan ilahi tersebut benar – benar ada dan nyata ataukah tidak. Ada juga yang percaya dan memang ingin mendapatkan berkat dari acara tersebut.
Sekarang, gereja yang kukuh berpegang pada ritual kebaktian konvensional sebaiknya mulai memikirkan kembali acaranya. Lama – lama jemaat bisa bosan dengan acara yang itu – itu saja, tanpa adanya unsur “ketegangan/kejutan” dan tanda tanya seperti yang umumnya dialami pada ibadah yang memasukkan unsur mujizat kesembuhan ilahi di dalamnya. Akibatnya, lama – lama jemaat bisa tersedot, atau gereja menjadi stagnan/mandeg, tidak berkembang lagi. KKR merupakan salah satu ajang yang cukup efektif untuk menarik jemaat lain ke gereja pelaksananya. Hamba Tuhan yang dipercaya memiki karunia kesembuhan Ilahi menjadi lebih didengar dan diminati.
Ajaibnya, pada acara kesembuhan ilahi tersebut, memang selalu saja ada yang memberikan kesaksian maupun dapat dilihat secara langsung fenomena kesembuhan tersebut, meskipun tidak semua yang maju disembuhkan. Fenomena tersebut menjadi penguat bagi yang hadir maupun yang terlibat di dalamnya bahwa memang kuasa Tuhan dinyatakan dan Tuhan hadir pada acara tersebut. Kesembuhan tersebut dengan sendirinya menjadi legitimasi, yang membuat acara tersebut sah dan menyakinkan sebagai tanda kehadiran dan penyertaan Tuhan.
Namun kalau kita mau membuka mata dan wawasan lebih luas lagi, ternyata fenomena kesembuhan ilahi tersebut tidak hanya dimonopoli kelompok kharismatik saja, atau yang lebih luas, kelompok Kristen saja. Kalau Anda menyaksikan acara televisi malam hari, Anda akan melihat acara – acara ini juga dilakukan oleh kelompok agama lain seperti muslim misalnya. Mungkin di agama dan kepercayaan lain juga ada ritual/acara serupa, tetapi karena keterbatasan pengetahuan penulis, jadi belum tahu. Contohnya adalah acara ruqiyah, mengusir hantu dan lain – lain acara serupa. Kalau diobservasi/diamati, perilaku orang – orang yang terlibat di dalamnya memiliki banyak kemiripan, seperti misalnya penumpangan tangan, penengkingan, roboh, menangis, muntah – muntah dan lain sebagainya. Perbedaan hanya pada simbol – simbol yang digunakan. Kalau pada kelompok Kristiani simbol – simbolnya berpusat pada Yesus, sedangkan pada kelompok lain simbol – simbolnya pada keyakinan kelompok tersebut. Ayat suci Alquran misalnya digunakan pada kelompok – kelompok muslim. Tentunya, sama seperti kita yang mempercayai adanya mujizat kesembuhan ilahi, para penganut keyakinan yang berbeda tersebut juga mempercayai bahwa apa yang terjadi juga merupakan kuasa Tuhan yang dinyatakan dalam acara mereka tersebut. Nah, kalau sudah demikian, persoalan menjadi semakin runyam dan pelik ketika masing – masing bersikukuh bahwa acaranya terjadi karena kuasa Tuhan, sedangkan kelompok lainnya menggunakan kuasa lain di luar Tuhan (lebih celaka lagi kalau menuduh menggunakan kuasa gelap), karena tidak menggunakan simbol yang sama!
Psikologi sebagai ilmu perilaku juga tertarik untuk mempelajari fenomena kesembuhan ilahi tersebut –karena memang berkaitan erat dengan perilaku manusia. Bahkan akhir – akhir ini teori maupun praktek dalam psikologi telah mencapai kemajuan yang pesat sehingga sebagian fenomena tersebut bisa dijelaskan bahkan bisa dieksperimentasikan! Fenomena – fenomena yang dulunya dipahami sebagai supranatural, ternyata tidaklah betul – betul ajaib lagi setelah mendapatkan penjelasan yang logis bahkan bisa dipraktekkan. Oleh sementara orang, kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan ini, khususnya psikologi disalahpahami sebagai gerakan jaman baru/ new age movement yang mendapatkan cap negatif oleh kebanyakan teolog. Praktek – praktek penyembuhan holistik, yang mengacu pada penyembuhan spiritual, mengajarkan untuk hidup harmoni dengan semesta, kembali pada terapi tradisional seperti akupuntur, dan penggunaan obat – obatan yang diambil dari bahan alami telah banyak memberikan hasil kepada yang melakukannya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau kelompok – kelompok ini berkembang dengan sangat pesat di seluruh dunia! Indonesia tidak terkecuali mengalami perkembangan yang pesat juga. Maraknya kelompok olah seni pernapasan dengan berbagai macam nama dan kekhasan mereka serta banyaknya anggota yang mengikuti merupakan bukti konkrit dari keberhasilan New Age Movement mempengaruhi arah peradaban kita. Lalu apa bedanya kesembuhan Ilahi yang sekarang ini dilakukan oleh banyak gereja dengan fenomena yang terjadi di luar gereja? Tentunya kita tidak akan puas bila hanya sekedar melihat perbedaannya dari sisi simbolis seperti telah diuraikan di depan. Menariknya, justru antara kesembuhan ilahi yang dilakukan dalam gereja dengan fenomena kesembuhan yang lain memiliki lebih banyak persamaan dari pada perbedaan!

Sejarah Kesembuhan Ilahi dan Hipnosis[ii]
Hipnosis sudah muncul sejak zaman Mesir Kuno, terutama digunakan untuk penyembuhan, dengan menempatkan seseorang pada keadaan seperti tidur. Dokter Swiss, Paracelsus (1493 – 1541) menggunakan magnet untuk penyembuhan. Dia juga menemukan obat merkuri untuk penyakit sifilis. Kemudian Valentine Greatrakes (1628 – 1666), seorang Irlandia yang mampu mengobati dengan menempelkan tangannya ke tubuh pasien, juga dengan melewatkan magnet. Namun pada waktu itu sampai beberapa waktu kemudian, istilah hipnosis belum digunakan untuk fenomena penyembuhan yang dilakukan dengan metode di atas.
Sedangkan fenomena kesembuhan ilahi yang tercatat dalam sejarah Barat/Eropa pertama kali dikenalkan oleh seorang Pastor bernama Johann Joseph Gassner (1727 – 1779). Dia mengembangkan suatu bentuk pengusiran setan (eksorsisme) yang digunakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit maupun gangguan. Dia dikenal sebagai penyembuh yang luar biasa pada abad ke delapan belas. Dia banyak merubah dan memperbaiki perilaku orang lain melalui ritual pengusiran setan ini. Namun karena metodenya ini banyak memiliki persamaan dengan metode yang digunakan oleh gereja abad pertengahan (yang dipahami oleh gereja pada abad ke – 18 sebagai memiliki banyak kemiripan dengan teknik yang digunakan oleh para dukun), maka apa yang dilakukan oleh Gassner mendapatkan banyak kecurigaan oleh pihak gereja. Bahkan akhirnya Gassner dilarang untuk menggunakan metodenya tersebut. Pada tahun 1775 Gassner melakukan ritual pengusiran setan ini pada sekumpulan besar orang dan demonstrasinya ini mendapatkan sukses yang luar biasa. Semenjak itulah, ritual pengusiran setan/kesembuhan ilahi tersebut mulai menyebar dan dilakukan di depan orang banyak.
Fenomena yang dilakukan oleh Gassner tersebut dikomentari oleh Friedrich Anton Mesmer. Mesmer (1734 – 1815) menyatakan bahwa Gassner sebenarnya menggunakan magnestisme tanpa menyadarinya. Lebih jauh lagi, Mesmer mempraktekkan hal yang sama dengan efek/akibat yang sama seperti yang dilakukan oleh Gassner, namun tidak menggunakan teknik pengusiran setan. Semenjak saat itu, berkembang dua aliran. Mereka yang kuat keyakinan agamanya lebih berafiliasi dengan metodenya Gassner, sedangkan kaum intelektual dan bangsawan yang tidak religius lebih menyukai tekniknya Mesmer karena teknik tersebut lebih bisa dikaitkan dengan ilmu pengetahuan baru di bidang kelistrikan. Mesmer sendiri memberi istilah “magnetism” pada metodenya. Mesmer ini pulalah yang dianggap sebagai peletak dasar hipnosisme.
Mesmer meyakini bahwa metodenya dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Pandangannya ini lalu diserang oleh kelompok medis. Para dokter segera menjadi lawannya. Kemudian dibentuk komisi yang bertugas menyelidiki teori Mesmer dan pada tahun 1784 komisi tersebut menyatakan tidak diketemukan dasar – dasar ilmiah dari teorinya Mesmer. Namun meskipun komisi tersebut membuat laporan yang melawan Mesmer dan mendiskreditkannya, mesmerisme (sebutan teknik yang digunakan oleh Mesmer) semakin menjadi populer karena terbukti mampu menyembuhkan orang atau setidaknya orang yang ditangani menjadi lebih baik.
Pada tahun 1843, James Braid, seorang alih bedah menyimpulkan bahwa kondisi setengah sadar (trance/trans) yang digunakan dalam mesmerisme adalah akibat yang penyebabnya alami. Kemudian istilah mesmerisme diganti dengan nama hipnosis (dari bahasa Yunani, artinya tidur, tahun 1850). Pada dekade berikutnya, hipnosis menjadi suatu metode yang populer di kalangan kedokteran baik di Eropa maupun Amerika. Metode ini digunakan untuk membantu operasi sehingga pasien tidak mengalami kesakitan maupun untuk menghilangkan rasa nyeri. Apalagi pada waktu itu juga belum diketemukan obat – obatan yang berfungsi untuk menghilangkan rasa sakit/bersifat bius. Perancis pada tahun 1880-an mengembangkan dua sekolah yang mempelajari hipnosis. Semenjak itu metode dan teori mengenai hipnosis semakin berkembang. Ada tokoh yang menyatakan bahwa hipnosis adalah keadaan tersugesti (dipengaruhi). Namun pendapat ini ditentang oleh Charcot (seorang neurolog yang menjadi kepala sekolah Salpetriere, sekolah sekaligus rumah sakit jiwa di Perancis) yang meyakini bahwa hipnosis tidak sekedar keadaan tersugesti tetapi memiliki dasar somatis (fisik).
Sigmund Freud (murid Charcot) dan koleganya Joseph Breuer pada akhir tahun 1880-an mulai memberikan penjelasan psikologis mengenai fenomena hipnosis setelah melakukan penyelidikan klinis dengan pasien – pasiennya di bidang hipnosis ini. Freud kemudian mengembangkan teori psikoanalisa –teori baru di bidang psikologi pada waktu itu yang menjadi revolusi di bidang psikologi, karena dikenalkannya ketidaksadaran sebagai bagian integral dari manusia. Berkat jasa Freud inilah, antara kedokteran dan psikologi menemukan jalan baru untuk bekerja sama, terlebih dengan diketemukannya gangguan psikosomatis, yaitu penyakit fisik yang sebenarnya berakar pada masalah psikologis.(Hampir semua penelitian membuktikan sebagian besar penyakit fisik memiliki sebab atau setidaknya berkaitan dengan faktor psikologis). Freud bukan saja menjadi bapak psikologi, namun pandangannya kemudian juga mempengaruhi ilmu pengetahuan di bidang lainnya. Orang sering menyebutnya sebagai “Einsten-nya Psikologi”.
Pada perang saudara di Amerika sekitar tahun 1800 – an, hipnosis digunakan untuk mengobati luka akibat perang, baik untuk mempercepat proses penyembuhan maupun untuk menghilangkan rasa sakit ketika menjalani prosedur operasi. Pada perang dunia I dan II serta perang Korea, hipnosis banyak digunakan untuk merawat stres akibat perang.
Ormond McGill (1913 – 2005) merupakan salah satu pesulap panggung yang dikenal mempraktekkan hipnosis sebagai objek hiburan.
[i] Yohanes 5:6. Baca juga ayat ke tujuh. Orang lumpuh itu memiliki keinginan yang besar untuk sembuh sampai tiba waktunya Yesus datang menyembuhkannya. Dia memiliki keyakinan untuk sembuh. Bandingkan dengan ayat – ayat lain seperti Matius 9: 21; 14:36 dsb.
[ii] Diambil dari berbagai sumber, seperti Harry Gottesfeld, 1979, Abnormal Psychology, A Community Mental Health Perspective. Science Research Associates, INC. hlm. 32 – 34. Firman Firdaus. 27 November 2005. Media Indonesia. Hipnosis, Sebuah Manipulasi Persepsi. Hlm. 8.

Bagaimana kesejajaran antara praktek kesembuhan ilahi dengan hipnotisme dan bagaimana penyakit bisa dijelaskan dengan teori psikosomatis, Click here to download file

Kamis, 21 Agustus 2008

Inner Healing


TERAPI INNER HEALING (PENYEMBUHAN LUKA BATIN)[1]
Siswanto
[2]

ABSTRAK

Penyembuhan luka batin (terapi inner healing) merupakan salah satu bentuk psikoterapi yang memiliki potensi untuk dikembangkan dalam konteks Indonesia. Terapi ini relatif sesuai dengan budaya Indonesia yang agamis. Sebenarnya akar terapi penyembuhan luka batin ada dalam ritual keagamaan (semua agama memiliki ritual semacam ini, namun ada yang menonjol/dipraktekkan, ada yang tidak). Terapi penyembuhan luka batin mengintegrasikan unsur spiritualitas dengan psikologis (psikospiritual). Selain cocok dalam konteks Indonesia, terapi luka batin juga memiliki kelebihan yaitu bisa dipraktekkan secara massal, tidak harus secara individual sehingga jangkauannya menjadi lebih luas. Namun permasalahannya, sejauh ini belum ada yang meneliti efektifitas terapi luka batin bagi kesehatan individu. Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi efektifitas terapi luka batin (inner healing) pada diri peserta terapi, dinamika yang terjadi dalam diri peserta serta sejauh mana perubahan dialami. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif, khususnya metode Personal Experience (metode pengalaman pribadi). Ada 38 subjek yang terlibat dalam penelitian, namun 1 subjek gugur karena pada saat pengambilan data tidak masuk karena sakit. Subjek diminta menuliskan pengalaman mereka sebelum, selama dan setelah mengikuti acara penyembuhan luka batin. Analisa dilakukan berdasarkan tulisan masing – masing subjek. Didapatkan hasil dari 37 subjek, ada 5 subjek yang menuliskan pengalaman negatif yang berkaitan dengan efek acara seperti kecapaian (3 subjek) dan relasi yang tetap buruk dengan teman (2 subjek). Subjek lainnya melaporkan perubahan positif yang tetap bertahan selama dan setelah mengikuti acara penyembuhan luka batin. Penyembuhan luka batin ini menunjukkan bisa digunakan untuk membantu individu mengembangkan diri lebih baik. Bahkan penyembuhan luka batin memiliki kekhasan dibanding terapi lainnya, seperti bisa digunakan secara massal, berdampak langsung pada emosi/perasaan dengan munculnya perasaan lega, damai, tenang, plong, menumbuhkan motivasi untuk menjadi lebih baik, serta membawa perubahan perilaku yang seketika terutama dalam hal memperbaiki relasi interpersonal yang kurang baik sebelumnya.

Kata kunci: inner healing, penyembuhan luka batin, metode pengalaman pribadi,

egosentris, transendensi, reframing, motivasi, cinta, memaafkan,

relasi


[1] Penelitian ini didanai program Magister Psikologi Unika Soegijapranata Semarang
[2] S.Psi., M.Si., Staf Pengajar Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang



Selengkapnya klik file ini.